LENTERAHARAPAN.com-SETARA Institute merespon apa yang dilakukan oleh Badan Legislatif DPR RI atas revisi kilat putusan MA soal UU Pilkada mengenai pengajuan calon gubernur, bupati, walikota, Dalam siaran persnya yang dikeluarkan pada 21 Agustus 2024, lembaga ini menilai hal tersebut merupakan bentuk vetokrasi sebagian elit politik yang terlanjur nafsu menguasai seluruh ruang-ruang politik kontestasi Pilkada serentak 2024.
Vetokrasi dalam konteks revisi UU Pilkada berbentuk kesepakatan elit yang memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi, yang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024 berupaya menyelamatkan demokrasi dari hegemoni dan tirani mayoritas.
Lebih jauh dijelaskan, bukan hanya membangkangi putusan MK, revisi 7 jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil, karena rumusan syarat pencalonan ditafsir sesuai selera para vetokrat untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidasi Pilkada. Penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK, ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD. Akal-akalan tafsir juga diberlakukan terkait tafsir konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan.
Menurut SETARA Institute, putusan MK seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat dan self executing. Kedudukan berlakunya Putusan MK adalah selayaknya berlakunya UU. Bentuk ketidakpatuhan DPR terhadap Putusan MK tersebut juga merupakan suatu pelanggaran hukum, yang selain menabrak tatanan konstitusional juga telah merobohkan prinsip checks and balances.
“Peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elit dan pembangkangan putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi bukti tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi. Tidak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali Mahkamah Konstitusi yang memegang judicial supremacy dalam menegakkan supremasi konstitusi,” demikian siaran pers tersebut.
SETARA Institute pun melihat Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi tidak lagi memegang supremasi judisial dalam menafsir konstitusi, karena pada akhirnya kehendak para vetokrat telah memenangkan kehendak segelintir elit yang tidak berpusat pada kepentingan rakyat. Tanpa kepemimpinan konstitusi, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh dan semakin menjauh dari mandat respublika, karena rakyat dan aspirasi rakyat bukan lagi menjadi sentrum perumusan legislasi dan kebijakan publik. (MS)